Oleh: Ziyad Falahi
VISIONEERNEWS – Kita sering mendengar, presiden Jokowi berkomitmen untuk segera merealisasikan pemerataan pembangunan di Indonesia.
Presiden Jokowi meyakini bahwa pokok persoalan tidak meratanya pembangunan, khususnya di wilayah timur Indonesia adalah kurangnya infrastruktur.
Secara kalkulasi, harga-harga produk di wilayah Timur akan semakin terjangkau dengan adanya infrastruktur seperti pelabuhan dan Tol Laut.
Namun, langkah pemerintah untuk segera mengeksekusi pembangunan Infrastruktur tersebut terhambat oleh kondisi fiskal dan pertumbuhan ekonomi pada semester pertama yang masih dibawah target.
Terlepas dari masalah makroekonomi dan kurangnya APBN, penyebab utama terhambatnya pembangunan infratsruktur di Indonesia timur adalah aspek politik. Dalam formasi kabinet kerja, sejatinya masih minim tokoh dari Indonesia Timur yang memiliki kemampuan mengeksekuasi pembanguan di wilayahnya.
Kalaupun ada beberapa menteri kabinet kerja dari Indonesia timur, namun sayangnya tidak menduduki pos jabatan strategis.
Bagaimanapun problem utama pembanguan Indonesia bukan terletak pada konsep, namun lebih pada implementasi.
Menguatnya wacana Reshuffle, terutama di sektor perekonomian baru baru ini seecara kalkulasi dapat mengatasi kebuntuan tersebut. Namun secara kalkulasi politik, apakah memungkinkan bagi Jokowi?
Pendekatan Politik untuk Indonesia Timur
Perjuangan dalam mempertahankan wilayah timur Indonesia tidaklah mudah sepanjang sejarahnya. Terdapat banyak cara yang dilakukan oleh Belanda dan sekutu untuk mempersempit ruang lingkup NKRI.
Salah satu jusrus sekutu untuk memperlemah Indonesia adalah otonomi kepada Negara Indonesia Timur (NIT) pada Era pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) yang hanya sebatas Jawa dan Sumatera. Pasca Dekrit, konfrontasi terkonsentrasi pada Negara Boneka Papua. Ironi tentunya, karena perjuangan Tokoh Indonesia Timur seperti Pattimura, Cristina Marta Tiahahu, dan Sultan Hasanudin sangat berperan sebagai benih persatuan Indonesia.
Narasi sejarah perpecahan tersebut terus berulang dan menjadi trauma yang mencapai klimaks pada era reformasi.
Setelah Indonesia kehilangan Timor-timur, pemerintah pusat senantiasa kesulitan untuk mengatasi instabilitas politik wilayah timur.
Seperti kita ketahui bahwa Republik Maluku Selatan (RMS), Gerakan Aceh merdeka (GAM) dan Operasi Papua Merdeka (OPM) berkembang pada era pasca reformasi.
Fenomena demiliterisasi yang terjadi pasca runtuhnya orde baru menjadi fakta yang menunjukkan bahwa mengatasi gerakan separatisme dengan menggunakan cara kekerasan menjadi tidak relevan lagi. Oleh karena itu, pendekatan personal yang bersifat dialogis menjadi cara satu-satunya dalam merangkul Indonesia timur.
Sebagaimana pakar politik Alexander Wendt mengatakan, jika identitas kebersamaan dalam sebuah bangsa baru bisa dibentuk melalui proses interaksi yang panjang, bukan dengan aneksasi apalagi kekerasan.
Tdak meratanya pembangunan karena aliran ekonomi senantiasa terakumulasi pada pemerintah pusat. Maka dari itu, otonomi daerah semula diyakini menjadi solusi dalam menciptakan pemerataan pembangunan. Akan tetapi, pembangunan Indonesia timur hingga sekarang masih tertinggal sekalipun Indonesia telah memasuki periode otonomi daerah.
Realitanya, pembangunan Indonesia Timur tidak menjadi lebih baik justru otonomi daerah (otoda) membuat tidak sinerginya pembangunan antara lokal dan nasional yang tentunya kontraproduktif dengan semangat NKRI. Kebijakan bupati yang berbeda partai dengan pemerintah pusat kini menjadi tren tersendiri.
Tak heran, jika investasi asing terhadap wilayah timur semakin merajalela dan memberi keleluasaan bagi tiap provinsi untuk mencarih utang luar negeri.
Secara perlahan pemerintah pusat semakin diperlemah, dan sentimen kedaerahan menguat. Dengan kata lain, kita sama dengan mengulang lagi zaman perjuangan kedaerahan yang tentu saja bertentangan dengan sila ketiga persatuan Indonesia.
Membuat Kabinet Kerja Bekerja
Sejarah panjang separatisme di Indonesia timur harusnya memberi pelajaran bagi Indonesia. Kurangnya Menteri dari Indonesia Timur bukan karena kualitas tokohnya, namun lebih karena kurang intensifnya pendekatan politik.
Implikasinya, hanya segelintir saja tokoh- tokoh yang berani dan mampu fokus pada pembangunan Indonesia timur selama ini. Bahkan ketika mekanisme pemilu telah dilakukan dengan sistem daerah pemilihan (dapil), nyataya tidak cukup memberi porsi tokoh Indonesia timur untuk menyuarakan wilayahnya.
Patut disayangkan, ditengah problem tidak meratanya pembangunan dan ancaman separatisme di Indonesia Timur yang mulai menguat kembali, nama-nama tokoh Indonesia Timur hanya menjadi penghias dalam Kabinet Kerja. Padahal, hasil pemilu presiden 2014 menunjukkan jika kemenangan pasangan Jokowi-JK banyak disumbangkan dari wilayah Indonesia timur.
Sungguh Ironi, dari sekian banyak nama yang masuk kedalam bursa reshuffle kabinet kerja Jokowi-JK justru didominasi oleh nama nama dari partai politik dan nama nama lama.***
Editor: Shendy Marwan