JAKARTA, VISIONEERNEWS-LBH Street Lawyer mendukung dan mengapresiasi langkah Kejaksaan RI, dalam hal ini Jaksa Agung, yang telah mengeluarkan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 Tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitas dengan Pendekatan Keadilan Restoratif sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa.
Direktur Legal LBH Street Lawyer, Wisnu Rakadita, SH, MH, mengutarakan pertimbangan-pertimbangan pentingnya dikeluarkan pedoman tersebut.
Disebutkan Wisnu Rakadita, pertama, Pedoman No. 18 Tahun 2021 harus dijadikan rujukan bagi para jaksa, ataupun jaksa penuntut umum untuk mengutamakan penyelesaian terhadap penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi. Sehingga perspektif penanganan yang digunakan terhadap penyalahguna narkotika (pengguna) haruslah dilakukan dengan pendekatan keadilan restoratif.
“Jadi, korban penyalahgunaan narkotika mendapatkan rehabilitasi bukan hukuman penjara sebagai pelaksanaan asas dominus litis jaksa,” kata Wisnu Rakadita melalui siaran persnya, Selasa (9/11).
Kedua, lanjutnya, dengan mengutamakan penyelesaian terhadap penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi, diharapkan terhadap pengguna narkotika tidak sampai ke pengadilan. Cukup melalui penetapan rehabilitasi yang ditindak lanjuti dengan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKP2), sehingga beban perkara pengadilan untuk mengadili perkara berkurang, yang diharapkan bermuara pada hilangnya over capacity lembaga permasyarakatan (Lapas).
Diungkapkan Wisnu Rakadita, menurut Institute of Criminal Justice Reform (ICJR), kapasitas Lapas mencapai 204 persen pada 2020. Dalam rilis tersebut dikatakan, jumlah penghuni penjara di seluruh Indonesia mencapai 270.466 narapidana. Padahal, kapasitas Rutan maupun Lapas di Indonesia hanya cukup menampung sekitar 132.335 Warga Binaan Permasyarakatan (WBP). Dari jumlah tersebut, sebanyak 38.995 orang atau sekitar 55 persen adalah para pengguna narkotika.
Ketiga, pengguna yang dituntut, diadili, dan dihukum masuk ke dalam lapas justru dengan mudah mendapatkan narkotika, sebagaimana peryataan AKBP Nagitaya bahwa peredaran narkotika secara nasional 80 persen dikendalikan dari Lapas.
“Keempat, korban penyalahgunaan narkotika yang dimasukan ke dalam Lapas sangat
berpotensi naik level menjadi pengedar atau bahkan bandar,” ujar Wisnu Rakadita.
Kemudian kelima, Pedoman No. 18 Tahun 2021 sejalan dengan Peraturan Bersama Ketua
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Jaksa Agung republik Indonesia, Kepala Kepolisan Republik Indonesia, dan Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia Tentang Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi dan Pasal 54 dan Pasal 127 UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Dijelaskan, Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2009 menyebutkan bahwa pencandu narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalankan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Sementara Pasal 127 ayat UU No. 35 Tahun 2009 menyatakan: “(1) Setiap Penyalah Guna:
a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun, b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
Kemudian (2), Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103. (3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Selanjutnya keenam, masih menurut Wisnu Rakadita, Pedoman No 18 tahun 2021 ini harus diberlakukan tanpa memandang golongan
sosial dan dan ekonomi dari korban penyalah gunaan narkotika.
“Diharapkan kepada penegak hukum dan masyarakat untuk terus memerangi peredaran narkotika,” harap Wisnu Rakadita. (VN)